Oleh : Yusuf Amrulah
Aksi September Gelap yang digelar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Metro menyuarakan banyak hal. Namun, ada satu isu yang paling menohok hati nurani publik: nasib guru honorer yang hingga kini belum mendapatkan keadilan layak dalam sistem pendidikan.

Guru honorer sejatinya adalah pilar penopang pendidikan. Ironisnya, jasa yang begitu besar itu justru diganjar upah rendah, jauh dari sejahtera. Bagaimana mungkin kita berharap pendidikan nasional melahirkan insan unggul, sementara para guru memaksa hidup bermodal penghasilan yang jauh dari cukup?
Hal ini menjadi titik berat kritik yang dilontarkan IMM Kota Metro: kewajiban negara untuk hadir menyejahterakan guru honorer. Pemerintah pusat pun daerah tidak boleh terus-menerus bersembunyi di balik alasan keterbatasan anggaran. Reformasi kebijakan harus segera dilakukan agar para pahlawan tanpa tanda jasa bisa memperoleh upah yang manusiawi, setara dengan dedikasi, jasa dan pengorbanan mereka.
Selain itu, IMM Kota Metro juga menyoroti praktik-praktik lain yang merusak integritas pendidikan negeri, termasuk adanya dugaan pungutan liar (pungli) di sekolah maupun instansi terkait.
Fenomena ini memang bukan isu baru, tapi tetap relevan sebagai cermin kerusakan birokrasi yang membebani mahasiswa magang maupun orang tua murid. Pungli, meski nilainya kecil, sesungguhnya menambah luka pada wajah dunia pendidikan.
Perjuangan IMM menyuarakan aspirasi bukan sekadar aksi jalanan. Namun panggilan moral agar negara serius membenahi dunia pendidikan. Tidak cukup dengan jargon, pemerintah harus menegakkan regulasi, memperketat pengawasan, serta memprioritaskan anggaran untuk kesejahteraan guru honorer.
Sejarah akan mencatat, guru honorer yang kini dipinggirkan adalah orang-orang yang telah menyalakan cahaya pengetahuan di ruang-ruang kelas pelosok negeri.
IMM Kota Metro hanya mengingatkan: jangan biarkan mereka terus hidup dalam ketidakpastian. Pendidikan yang adil hanya bisa lahir dari kesejahteraan para pendidik.