Oleh : Kiki Anggi
Kota kecil ini bukan lagi sekadar daerah yang sedang mencari jati diri, ia telah berganti wajah jadi panggung sirkus termegah.

Badut-badut berkedok birokrat itu terang-terangan beraksi tanpa malu secara bergiliran. Mengenakan kostum pejabat bertabur bintang, riasan tebal pencitraan yang kerlap-kerlip bersinarkan ambisi pribadi, tampil menari-nari di atas pentas kekuasaan.
Mereka tidak memimpin, pun menyelesaikan masalah. Tapi sedang melawak sembari asyik menghibur diri sendiri. Dengan wajah berseri, badut-badut kekuasaan itu bertepuk tangan atas kegagalan yang diciptakan.
Apa mereka pikir, membangun dengan cara tambal-sulam dan gelaran seremonial picisan, sudah cukup jadi modal mengukir nama mereka dalam sejarah abadi perjalanan kota? Astaga!
Ironisnya, badut-badut ini tidak berdiri sendiri. Mereka dikelilingi oleh kawanan figuran drama amatiran, yakni kaum pengangguk setia yang berlomba-lomba membesarkan topi badut satu sama lain.
Makin besar kebodohan yang dipertontonkan, maka semakin lebar tawa dalam lingkaran kekuasaan.
Masalah publik bak pendulum yang tak henti bergerak, berayun terombang-ambing secara periodik dari satu periode ke periode berikutnya. Menggambarkan estafet ketololan yang terus berlanjut. Menyebalkan!
Sementara rakyatnya, hanya bisa menjadi penonton pasif dalam pertunjukan amatir nan absurd. Membayar tiket mahal lewat pajak, sambil menggerutu dalam hati, “Kapan semua ketololan ini selesai!?”
Ya. Lebih kurang, kota ini layaknya sebuah panggung hiburan amatir yang lupa waktu, kapan tirai harus ditutup.
Badut-badut terus berakrobat di atas masalah-masalah rakyat. Mempercantik kegagalan dengan spanduk ucapan selamat dan baliho syukur yang palsu.
Mereka percaya, selama musik propaganda tetap dimainkan, tidak ada yang akan sadar bahwa semua ini hanyalah suatu komedi tragis.
Jika pejabat sejati adalah pelita, maka kota kecil ini hanya diterangi lampu sorot sirkus amatir.
Selama para badut-badut terus merasa nyaman di atas panggung kekuasaan, kota kecil ini tak akan pernah benar-benar melangkah, dan hanya berputar-putar dalam gelak tawa getir sejarah.