Oleh : Kiki Anggi, orang biasa.
Praktik prostitusi di Indonesia tentu lekat dengan kesan negatif sebagai tempat maksiat. Karena selain menyelisihi batas norma, perilaku seks bebas itu juga berdampak buruk terhadap aspek-aspek kehidupan, misalnya sosial dan kesehatan.

Namun demikian, sekeras apapun upaya memberantas penyakit sosial itu, pelaku-pelaku tunasusila selalu saja mampu mendapatkan cara untuk berkelit dan mengelabui, atau malah bekerja sama dengan oknum penegak aturan, hingga akhirnya meloloskan diri dari jerat hukum.
Meski pemerintah dan aparat telah dengan nyata melarang praktik prostitusi melalui sederet regulasi, tapi faktanya, tempat-tempat yang disinyalir menyediakan jasa maksiat berbalut kenikmatan sesaat itu tetap saja melenggang dan beroperasi, seolah hukum tak digubris.
Begitu banyak tempat prostitusi abu-abu dibuka, bahkan menjamur di berbagai daerah di Indonesia. Biasanya, sarang kupu-kupu malam itu dibuka secara terselubung dengan izin administrasi sebagai pub, salon kecantikan, rumah karaoke, tempat penginapan, cafe, warung kopi, rumah makan, dan lain sebagainya.
Sementara itu di satu sisi, sebagian masyarakat mendukung upaya pemerintah memberantas lokalisasi prostitusi (Biasanya masyarakat dari golongan religius). Sebaliknya di sisi lain, sebagian masyarakat justru kerap singgah, tergoda oleh kemolekan para kupu-kupu malam di balik cahaya redup nan remang.
Alih-alih menjaga kondusifitas, malah ada saja oknum yang main api, pasang badan mem-back up sarang maksiat itu.
Ditambah lagi, kemajuan peradaban juga memungkinkan para pria hidung belang untuk semakin gampang melampiaskan syahwatnya, melalui pemesanan wanita tunasusila via jejaring media online dan pelbagai aplikasi pertemanan, untuk kemudian transaksi jasa berlendir itu berlanjut di mini hotel, indekos, bahkan rumah pribadi. Ironis bukan?
Terlepas dari ancaman kesehatan yang menghantui para pelakonnya, prostitusi dan seks bebas sebagai penyakit masyarakat, tentu selain bertentangan dengan hukum, juga bertolak belakang dengan aturan daerah, norma kesusilaan, norma agama, dan norma kesopanan.
Provinsi Lampung yang notabenenya memiliki identitas budaya yang kuat dan beragam, ditambah sekitar 96,26 persen penduduk yang beragama Islam, seyogyanya menjadi salah satu daerah yang menolak keras perilaku seks bebas, atau keberadaan tempat-tempat prostitusi.
Ironisnya, jumlah pengidap penyakit kelamin Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficency Syndrome (HIV/AIDS) di Lampung cukup signifikan. Data statistik menunjukkan jumlah kasus HIV di Lampung pada 2022 mencapai 730 orang, dengan rincian 548 laki-laki dan 182 perempuan. Sedangkan pada 2023, jumlah pengidap kasus HIV/AIDS di Lampung meningkat drastis mencapai 5.643 orang. Pada 2024, Dinkes Provinsi Lampung memperkirakan, ada sekitar 10.093 orang mengidap HIV/AIDS, namun yang ditemukan baru 6.570 orang. Fantastis bukan?
Dari data tersebut, terlihat bahwa jumlah pengidap HIV/AIDS di Lampung cukup tinggi dan perlu menjadi perhatian serius. Sebagian besar kasus HIV/AIDS ditemukan pada kelompok masyarakat berusia antara 25-49 tahun, yang jumlahnya lebih dari 70 persen.
Apa yang membuat persentase pengidap penyakit kelamin meningkat, apa penyebabnya? Di mana biasanya penyebab itu berasal? Mungkinkah penyebabnya dihilangkan, atau diatur dan dibatasi? Bagaimana cara yang efektif? Apa kendala yang mungkin ditemukan? Bisakah kendala itu dipersempit potensinya?
Ya. Mestinya rangkaian pertanyaan itu bisa dijawab oleh pemerintah yang dilengkapi aparat penegak hukum dan peraturan.
Bicara soal aturan dan landasan hukum. Pemerintah di Indonesia telah merancang sederet regulasi hingga sedemikian rupa. Misalnya, Undang-undang (UU) Pornografi Nomor 40 Tahun 2008 yang mengatur tentang sanksi bagi mucikari dan pelaku dalam kasus prostitusi online.
Kemudian, Pasal 296 KUHP yang mengatur tentang mucikari atau pihak yang mengadakan serta memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain. Pasal 506 KUHP yang mengatur tentang hukuman untuk mucikari. Lalu, Pasal 284 KUHP yang mengatur tentang sanksi hukum bagi pelanggan atau pengguna layanan prostitusi online, serta aturan-aturan lainnya.
Seperti misalnya di Kota Metro, Provinsi Lampung, tempat di mana penulis menetap. Pemerintah daerah memiliki landasan hukum yang diharap mampu mempersempit ruang gerak pelaku-pelaku prostitusi.
Mestinya, Peraturan Daerah (Perda) Kota Metro Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat, bisa menjadi landasan penutupan tempat praktik prostitusi, sekaligus memberangus mulut-mulut anjing penjaga sarang kemaksiatan berkedok oknum masyarakat sosial. Dengan catatan, jika regulasi tersebut benar-benar ditegakkan.
Sudahkah aturan itu ditegakkan? Efektif tidak? Masihkah ada tempat-tempat yang diduga sebagai tempat transaksi prostitusi? Jika masih ada, kok bisa? Apa sebabnya?
Disebabkan rasa muak dengan kedunguan sikap dan atau kemunafikan tersebut. Penulis justru beranggapan, tempat prostitusi yang legal, diatur, dan diawasi dengan benar oleh pemerintah, adalah solusi ideal sebagai langkah awal penataan kebijakan, menuju kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Penulis menyadari, bahwa legal, regulasi, dan kontrol prostitusi adalah topik yang kompleks dan kontroversial. Tapi, ketidakbecusan dalam menjalankan amanat Undang-undang dan hukum yang berlaku, jauh lebih menjengkelkan.
Beberapa argumen seperti mengontrol sebaran penyakit kelamin yang menular, membatasi usia pelaku prostitusi, dan menempatkan tempat prostitusi yang jauh dari permukiman penduduk, memang dapat menjadi manfaat jika prostitusi dilegalkan dan diatur dengan baik.
Beberapa negara telah melegalkan prostitusi dan mengatur industri ini dengan baik, seperti Belanda, Jerman, dan Australia. Namun, hasilnya tidak selalu positif, dan masih ada perdebatan tentang apakah legalisasi prostitusi benar-benar dapat mengurangi masalah yang terkait dengan industri ini.
Namun, ada juga argumen lain yang perlu dipertimbangkan, jika prostitusi dilegalkan di Indonesia, seperti :
* Eksploitasi dan perdagangan manusia
Melegalkan prostitusi dapat meningkatkan risiko eksploitasi dan perdagangan manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
* Dampak sosial dan moral
Prostitusi dapat memiliki dampak sosial dan moral yang negatif, seperti meningkatkan tingkat perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.
* Keterlibatan anak-anak dan remaja
Meskipun ada upaya untuk membatasi usia pelaku prostitusi, masih ada risiko bahwa anak-anak dan remaja dapat terlibat dalam prostitusi.
Dalam konteks Indonesia, legalisasi prostitusi masih menjadi topik yang kontroversial dan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Perlu ada diskusi yang lebih luas dan mendalam tentang manfaat dan risiko legalisasi prostitusi, serta bagaimana mengatur industri ini dengan baik jika dilegalkan.
Jika praktik prostitusi dilegalkan di Kota Metro, maka pemerintah daerah perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti :
* Regulasi dan pengawasan
Pemerintah daerah perlu membuat regulasi yang jelas dan efektif untuk mengawasi industri prostitusi, termasuk memastikan bahwa pelaku prostitusi memiliki akses ke layanan kesehatan dan keamanan.
* Penempatan lokasi
Pemerintah daerah perlu menentukan lokasi yang tepat untuk industri prostitusi, sehingga tidak mengganggu permukiman penduduk dan tidak menimbulkan masalah sosial.
* Pajak dan pendapatan
Pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan dari pajak industri prostitusi, yang dapat digunakan untuk membiayai layanan publik dan pembangunan infrastruktur.
* Edukasi dan kesadaran
Pemerintah daerah perlu meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang industri prostitusi, termasuk tentang risiko dan manfaatnya.
Bagaimana? Terserah anda saja!