Oleh : Kiki Anggi, orang biasa.
Sejumlah aksi demonstrasi yang berkobar di penghujung bulan kemerdekaan Indonesia menyiratkan kesan buruk bagi sistem pemerintahan. Unjuk rasa terjadi di berbagai daerah, menjadi simbol ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Berawal dari ungkapan-ungkapan bodoh elit politik yang menjadi blunder, kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat, pembangunan yang mandek, hingga terungkapnya serangkaian kasus-kasus korupsi besar di tanah air, memberi pukulan telak pada dinding kepercayaan publik yang kian menipis dan telah mengalami keretakkan.
Para pejabat dan politisi dianggap sebagai penyebab kegaduhan. Aparat kepolisian dikambinghitamkan. Lalu siapa yang jadi korban? Lagi-lagi rakyat jadi korban dari keserakahan, kebodohan dan kegagalan menjalankan misi kenegaraan.
Negeri yang gemah ripah loh jinawi di masa lalu disulap jadi distopia di era modern, bahkan terancam hancur di tangan segelintir oknum keparat yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Alih-alih menjadi negeri adidaya, Bumi Pertiwi dengan segudang permasalahannya justru kian terpuruk.
Kekayaan alam habis dikeruk, hutang menumpuk, penegakan hukumnya busuk, aparat dan pejabat gila korup, umat beragama saling mengutuk, demokrasi kian ambruk, bahkan rakyatnya yang dulu ramah jadi pengamuk.
Bukankah bangsa yang katanya berbudi luhur ini mestinya menjadi bangsa yang besar? Bukankah negara yang katanya memiliki kekayaan alam melimpah ini harusnya jadi negeri kaya? Sudah berbudi luhur, kaya pula. Lalu mengapa gagal bangkit menjadi Negeri Adidaya?
Penulis meyakini satu hal. Bahwa negeri ini tidak akan pernah bangkit dari keterpurukkan, apabila gagal melepaskan diri dari tabiat koruptif yang selalu membelitnya erat. Reformasi habis-habisan di seluruh komponen pemerintahan harus dilakukan.
Semisal Tiongkok di era pemerintahan Xi Jinping. Perlahan bangkit melepaskan diri dari jerat perilaku koruptif para pejabat, hingga dalam waktu singkat, Negeri Tirai Bambu berhasil mengganti wajah suram dan unggul dalam berbagai bidang ekonomi, industri, manufaktur global, ekspor produk elektronik dan kendaraan, teknologi canggih termasuk kendaraan listrik dan AI, tambang emas, aluminium dan eksplorasi ilmiah.
Penggalan kalimat dari Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok itu, begitu meninggalkan pesan mendalam dan menginspirasi ;
“Kalau mau jadi pejabat jangan cari kekayaan. Kalau mau kaya jangan jadi pejabat. Hiduplah dengan bersih dan jujur. Jangan jadikan jabatan sebagai alat pemuas dari keserakahan yang tidak ada batasnya, untuk mencari keuntungan pribadi tanpa henti atau sebagai jalan pintas menuju kekayaan. Karena kalau begitu, cepat atau lambat pasti akan hancur”
Jika tabiat koruptif terus melenggang tanpa batasan, lalu bagaimana nasib Bumi Pertiwi di masa depan?